Rabu, 12 November 2008

teroris

Saat ini ada dua bentuk ancaman bagi keamanan dan pertahanan bangsa Indonesia yakni separatisme dan terorisme. Sayangnya, tidak ada kesadaran bersama dalam kepemimpinan nasional untuk menghadapi ancaman ini secara adil. Untuk kasus teroris, kewaspadaan kita tampak begitu tinggi sementara untuk kasus separatis tidak demikian.
Kasus peragaan tarian cakalele yang disertai pengibaran bendera RMS di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi bukti rendahnya kesadaran nasional tentang bahaya keberadaan kelompok separatis. Apabila kesadaran dan persepsi kita tentang ancaman (threat perception) tidak segera dibangkitkan kembali, maka kasus-kasus serupa tidak mustahil akan terulang.
Pada dasarnya, baik kelompok separatis maupun teroris dalam operasinya memiliki tujuan yang sama, yaitu merusak legitimasi negara. Bedanya, kelompok separatis mencoba untuk melawan negara dan berupaya melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan mendirikan negara baru versi mereka. Mereka juga memiliki kemampuan untuk mendapatkan simpati dunia serta mampu menjalin hubungan dengan kekuatan internasional.
Tidak demikian dengan kelompok teroris yang dalam operasinya tidak mesti memusuhi negara. Kelompok ini berusaha melawan dominasi global Barat. Karenanya, ancaman teroris tidak hanya berdampak secara lokal tetapi juga global. Namun demikian dua-duanya tidak bisa dipisahkan dari aksi-aksi kekerasan (violence) dalam mencapai tujuan-tujuan mereka. Uniknya, sama-sama menjadi musuh negara, tapi perlakuan yang mereka terima berbeda. Mereka yang dituduh teroris diburu di mana-mana, sedangkan untuk separatis karena pertimbangan publik internasional, mereka cenderung diperlakukan dengan sangat hati-hati. Padahal tidak seharusnya seperti itu.
Kasus memalukan yang terjadi di Maluku tanggal 29 Juni 2007 itu merupakan contoh betapa kita sebagai bangsa tidak memiliki persepsi yang sama tentang tingginya tingkat bahaya gerakan separatis RMS. Karenanya bukan pada tempatnya untuk menyalahkan dan mencari kambing hitam dari peristiwa ini. Dari peristiwa tersebut, justru persespi kita tentang ancaman dari kelompok separatis yang juga melakukan aktivitas-aktivitas terorisme yang membayakan keutuhan dan keamanan Republik Indonesia ini perlu dikaji ulang. Sebenarnya, kalau kewaspadaan dan persepsi kita sama dalam memandang dan memprioritaskan penyelesaian separatisme, tentu kejadian yang mencoreng martabat bangsa ini tidak bakal terjadi.
RMS dan konflik AmbonKalau kita mau jujur, isu tentang RMS sudah lama berkembang luas di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Bahkan beberapa kalangan umat Islam telah menyuarakan dengan keras bahwa RMS terlibat dalam aksi kekerasan dan pembunuhan di Ambon. Dugaan keterlibatan kelompok separatis yang bermarkas di Belanda dalam konflik berdarah di Ambon pun tidak lagi dapat ditutup-tutupi.
Sayangnya, apabila dalam tragedi Ambon dan Poso pemerintah serta aparat keamanan dengan serta-merta menuding Jemaah Islam (JI) sebagai otak di balik kerusuhan berlatar belakang agama ini, tetapi tidak demikian halnya terhadap RMS. Ini karena JI sendiri dianggap sebagai kelompok teroris yang tidak hanya membahayakan keamanan Indonesia tetapi juga keamanan regional dan internasional.
Dukungan internasional terhadap pemerintah dalam memerangi terorisme yang ditujukan kepada JI sangat kuat baik dalam hal dana maupun bantuan teknis. Strategi dalam menghadapi terorisme tidak lagi pilih-pilih (indiscriminate targets). Tidak hanya pemimpin dan elite-elite JI yang ditangkap tetapi para anggota biasa dan simpatisan pun menjadi target operasi. Dampaknya kemudian operasi yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 (Densus) sering mendapatkan sorotan publik. Hanya, karena pemerintah mampu meyakinkan tentang ancaman teroris ini kemudiaan kritik-kritik itu dapat dialihkan.
Berbeda dengan JI, RMS karena tidak adanya dorongan dunia internasional akhirnya mendapatkan perlakuan dan perhatian yang berbeda. Walaupun telah terjadi penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh RMS yang terlibat dalam kekerasan di Ambon tetapi tidak semuanya menjadi target operasi represif aparat keamanan. Hanya mereka yang terlibat langsung dalam kegiatan membayakan keamanan negara itulah yang ditangkap.
Operasi yang dilakukan aparat tidak sampai pada penghancuran organisasi dan para anggota pendukung serta simpatisan. Artinya, aparat keamanan terkesan lebih selektif dalam memilih targetnya (selective targets). Para pemimpin yang membahayakan diamankan, sementara organisasi dan aktivitasnya di bawah tanah tetap dibiarkan selama tidak secara terbuka menyerang aset-aset pemerintah dan negara. Padahal baik JI maupun RMS sama-sama diduga memiliki jaringan di luar daerah konflik yang memungkinkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas teror lainnya.
Kewaspadaan nasionalMencermati kejadian yang memalukan ini, memang sangatlah mudah untuk menyalahkan ketidakpekaan aparat keamanan dan pihak intelijen dalam melihat ancaman dari RMS. Para anggota RMS yang menyamar sebagai penari-penari lokal pun lepas dari perhatian mereka. Namun kalau kita mampu melihat persoalan ini pada tataran yang lebih komprehensif, persoalannya terletak pada kesadaran kita secara kolektif dalam mendefinisikan ancaman.
Ini dapat dilihat dari pengakuan pihak Badan Intelejen Negara (BIN) sendiri yang mengatakan telah memberikan laporan secara lengkap jauh-jauh hari akan kemungkinan terjadinya aksi-aksi dari pihak RMS walaupun pada akhirnya laporan itu tidak mendapatkan respons secara memadai dari pihak yang berwenang. Kelengahan aparat yang terkait inilah kemudian dijadikan alasan penyebab terjadinya peristiwa yang merendahkan martabat bangsa itu. Namun, sebenarnya semua itu bersumber dari tidak adanya persepsi kolektif para pemimpin bangsa kita tentang bahaya RMS.
Hal yang paling utama bagi kita sebagai warga negara Indonesia adalah bagaimana isu yang berkembang saat ini tidak sekadar menjadi wacana politik sesaat. Persoalan Ini harus dijadikan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat memperbarui semangat bangsa tentang pentingnya kewaspadaan nasional. Kita ditantang dapat bersama-sama secara sinergis dengan semangat nasionalisme yang kuat untuk terus menjaga keutuhan NKRI dari ancaman kaum separatis.
Namun demikian usaha ini tidak kemudian menutup mata kita untuk melihat persoalan lain bahwa di balik semua itu ada masalah yang perlu diselesaikan yaitu keadilan dan kesejahteraan rakyat. Keadilan dan kesejahteraan harus terus diperjuangkan, dan bersamaan dengan itu kita juga harus tegas dalam menyikapi ancaman tersebut. Para pemimpin nasional dan rakyat Indonesia harus memiliki persepsi yang sama bahwa kaum separatis adalah ancaman besar bagi bangsa Indonesia dan harus dihadapi bersama-sama.
Ikhtisar
- Separatisme dan terorisme sama-sama menjadi ancaman yang sangat serius bagi kedaulatan bangsa Indonesia.- Saat ini, pemerintah masih sangat hati-hati dalam menghadapi persoalan separatisme, sementara tidak demikian halnya untuk persoalan terorisme.- Aparat keamanan melakukan pemilihan target saat hendak menangkap kalangan separatis, sedang penangkapan mereka yang diduga terlibat aksi terorisme, dilakukan tanpa memilih target.- Semestinya pembedaan perlakuan seperti itu tidak boleh terjadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar